1. Beberapa aspek
etika bisnis islami
Bisnis dalam Islam memiliki etika atau aturan yang harus
sesuai dengan hukum dan ajaranagama Islam. Etika bisnis dalam Islam
mengharuskan seorang pebisnis harus selalu dipegang teguh sehingga tidak
membelok ke jalan yang tidak diridhoi oleh agama Islam.
Pengertian etika bisnis dalam Islam secara singkatmerupakan
cara yang digunakan untuk melakukan bisnis secara Islami. Sedangkan pengertian
etika bisnis dalam Islam secara detail adalah cara-cara yang digunakan untuk
melakukan bisnis yang termasuk didalamnya seluruh aspek yang berkaitan dengan
perusahaan, individu, industri serta masyarakat
yang berpatok pada hukum-hukum Islam. Intinya,segala hal yang dilakukan
oleh seorang pebisnis haruslah tetap berpegang teguh pada hukum-hukum Islam.
1.Kesatuan ( Tauhid )
Etika bisnis dalam Islam yang satu ini adalah bagaimana
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial sampai
dengan politik sehingga mampu menjadi satu kesatuan yang homogen.
2.Keseimbangan
Maksud dari etika bisnis dalam Islam yang ini adalah anjuran
untuk berbuat adil dalam bisnis. Jadi, bagi yang berbuat curang maka kecurangan
itu sendiri adalah jurang kehancuran bagi bisnisnya.
3.Bebasnya Kehendak
Kebebasan menjadi sangat penting dalam etika bisnis dalam
Islam. Ini akan membantu orang dalam berkarya sebebas-bebasnya dan sekreatif
mungkin hingga mampu menghasilkan inovasi baru.
4.Tanggung Jawab
Dalam etika bisnis Islam, tanggung jawab adalah hal yang
sangat penting. Meskipun manusia memiliki kebebasan tanpa batas namun tanggung
jawab sangat diperlukan guna
mempertanggung jawabkan setiap tindakan yang dilakukan.
5.Kebenaran ( Kebijakan dan Kejujuran )
Etika bisnis dalam Islam mengedepankan yang namanya
kebenaran. Dalam hal ini maksudnya adalah niat, perilaku dan juga sikap apakah
memiliki kebenaran niat yang sesungguhnya sesuai dengan akadnya atau tidak.
Teori ethical egoism
Ethical egoism menegaskan bahwa kita tidak harus mengabaikan
secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita patut mempertimbangkannya
apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan kepada diri sendiri.
Ethical egoism adalah berbeda dengan prinsip-prinsip moral seperti senantiasa
bersikap jujur, amanah dan bercakap benar. Ia karena tindakan tersebut didorong
oleh nilai-nilai yang sedia ada dalam diri manakala dalam konteks ethical
egoism pula sesuatu tindakan adalah didorong oleh kepentingan pribadi. Misalnya
seseorang individu yang memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank
tentang kesilapan pihak bank bukan atas dasar tanggung jawab tetapi karena
beliau mempunyai kepentingan diri.
Kategori etikal:
· Individual
Melakukan perkara faedah untuk kepentingan diri.
· Personal
Tindakan yang perlu dilakukan untuk kepentingan seseorang.
· Universal
Semua orang perlu bertindak pada jalan berfaedah untuk diri
sendiri.
3. Teori
relativisme
Istilah “relativisme” diambilkan dari bahasa Latin,
relativus, yang artinya “menunjuk ke.” Setiap pengetahuan, menurut paham
relativisme, selalu memiliki rujukan, referensi. Dengan demikian, setiap
pengetahuan memiliki logika dan ranah kebenarannya sendiri bergantung kepada
rujukannya.
Relativisme meniadakan kebenaran universal. Jika tidak ada
pengetahuan yang salah, karena setiap pengetahuan memiliki rujukannya sendiri,
maka juga tidak ada pengetahuan yang benar secara universal. Jika tidak ada
pengetahuan yang benar secara universal, tidak perlu ada pendidikan, tidak
perlu ada sekolah, tidak perlu ada seminar, tidak perlu ada pembelajaran, tidak
perlu ada diskusi hukum-hukum, tidak perlu ada komunikasi (malahan). Sebab,
semuanya benar belaka. Inilah konsekuensi paling telak dari relativisme
protagorasian.
4. Konsep
deontology
Berasal dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/
Sesuatu yang harus. Etika deontology ini
lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara baik menurut
teori ini tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan namun
berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini adalah
mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang. Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan
kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik
dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain.
Menurut David MCnaughton, kebaikan dan keburukan tidak bisa dilihat semata-mata
berdasarkan nilai baik dan buruk, dua
hal ini dilihat dari konteks terjadinya perbuatan, bisa kita contohkan ada
sebuah kasus atau sebuah perbuatan, bisa saja perbuatan ini benar di mata
masyarakat umum atau benar berdasarkan konsep-konsep umum yang ada, namun pada
kenyataannya saat dilakukan terlihat buruk atau bahkan dampaknya negative.
Teori deontology diatas diperkenalkan oleh imanuel kant pada
tahun (1724-1804). Dalam teorinya kan
mengatakan hal yang baik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah hal yang
berasal dari kehendak yang baik. Sedangkan hal-hal seperti intelegensi, harta,
jabatan dan lain sebagainya adalah sesuatu yang bersifat terbatas yang mana itu
semua akan menjadi baik saat dia dimiliki dan dipakai oleh kehendak yang baik
yang ada pada diri manusia. Dalam
teorinya juga kant menyimpulkan adanya otonomi kehendak, yang mana setiap
kehendak memilikiatau mengisyaratkan adanya otonomi individu dalam melakukan
sebuah perbuatan, yang sudah dipastikan setiap perbuatan tersebut didasarkan
atas “kewajiban”. Kant mengatakan bahwa kewajiban ini sifatnya tidak subjektif
kewajiban ini bersifat bebas atau imperative artinya sudah barang tentu dan
sudah biasa manusia bebas melakukan sesuatu
asalkan kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
kewajiban sehingga kebebasan yang dilakukan tersebut bisa dibenarkan secara
moral.
Pengertian profesi
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian seperti ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya.
Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut
keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu
dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan
tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi
menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu
pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang
orang, akan tetepi memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan
yang dikembangkan khusus untuk itu.
Pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang mudah
dimengerti oleh masyarakat awam adalah sebuah profesi sudah pasti menjadi
sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi.
Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi sebagai suatu
ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit
seperti itu.
6. Kode etik
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan
profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar & baik
& apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya
definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola
aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Prinsip etika profesi
1. Pertama,
prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang
bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya
dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan
moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin
dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip
kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya
.jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga
kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit
tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu
untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya
kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan.
Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional
dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang
banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan
orang tersebut.
3. Prinsip
ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh
kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi
dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan
terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur
tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak
pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang
bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi
tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas
mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang
kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas.
Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu /
peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya
pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan
tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap
profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
4. Prinsip
integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat
jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas
pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk
menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan
masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum
profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia
tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas
profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan
profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar
niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas
moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas
bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan
mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah,
kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati,
ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya.
Sumber:
1.
http://www.syariahnews.com/2015/07/ketahui-5-etika-bisnis-dalam-islam.html
2.
http://alamandausm.blogspot.co.id/2014/01/teori-egoisme_7.html
3.
http://www.kompasiana.com/saman/relativisme-dan
pluralisme_5509af38813311f001b1e280
4.
https://rifaiarvinofajar.wordpress.com/2013/01/16/deontology-ethics/
5.
http://febriantismala.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-profesiprofesionaletikaetiket.html
6.
http://www.pengertianku.net/2015/02/pengertian-kode-etik-dan-tujuannya-lengkap.html
No comments:
Post a Comment