President Joko “Jokowi” Widodo has said that Indonesia should be
ready to compete in the ASEAN Economic Community (AEC), set to start in
January, although business communities fear the country could lose out
amid increased competition and could be flooded with products and
commodities from other ASEAN members.
Jokowi said on Saturday that
nearly all heads of states of ASEAN member countries had expressed fear
that their respective countries would be flooded by products and
commodities from Indonesia and therefore, they considered that Indonesia
would benefit from the commencement of the community.
“The ASEAN
Economic Community is only two weeks from now. Many have asked me if we
are ready,” Jokowi said when speaking at the Association of Indonesian
Engineers (PII) congress in Jakarta on Saturday, as stated in a press
release from the Presidential Office.
“Why should we be afraid?”
the President continued, adding that the key to winning the competition
was infrastructure. Therefore, he added, the government would boost
infrastructure development across the country by allocating Rp 313
trillion (US$22.50 billion).
“We should no longer move backward.
We should not hesitate. All that has been done and will be done is in
the interests of the people,” he stressed.
As an example, he said
that Indonesia had 800 kilometers of toll roads and would develop
another 1,000 kilometers of highways within the next five years. His
government would also continue railway projects outside Java and would
boost energy supplies by deregulating licensing procedures for
investors.
He said he understood that many doubted the
government’s capability to materialize its plans because in the past
numerous projects had been planned but not followed up.
The
President cited his own experience in announcing plans to develop
railway projects in Sumatra. “[Someone asked me], ‘It is true Pak?
Don’t just break ground [on the project]. It was 30 years ago [that the
project was first planned], but it has never been implemented’,” Jokowi
said, quoting a complaint from a resident.
Similarly, according
to Jokowi, Indonesia should prepare to accept membership of the
Trans-Pacific Partnership (TPP) and be ready to compete in a market of a
wider group of countries, namely Australia, Brunei Darussalam, Canada,
Chile, Japan, Malaysia, Mexico, New Zealand, Peru, Singapore, Vietnam
and the US.
The President acknowledged that many people did not
agree with the idea to join the group, but stressed the need for
Indonesian people to prepare themselves to compete in the global market.
“Our vision should be ready to compete. We should have courage to face
[the competition],” he said. (bbn)
Comment :
The ASEAN Economic Community (AEC) was officially launched on the very last day of 2015. In this article, I agree with Mr. President that Indonesia should be ready to compete in ASEAN Economic Community (AEC), but many people, especially in Indonesia, will argue there will be no significant changes to their daily life.
There have been many agreements on various aspects of the free-trade area and the process of the AEC. Yet, the implementation of those commitments and agreements is still in question. In this regard, there are at least two measures that can be used to assess whether ASEAN has achieved its single market and production base objectives: first, the elimination of trade barriers both in terms of tariff reduction and non-tariff barriers; and second, a high degree of interdependency among the ASEAN member states in terms of their trade relations, which can be seen from comparing intra- and extra-ASEAN trade relations.
The higher of the degree of intra-ASEAN trade relations, the higher the degree of interdependency among ASEAN member countries, which also means a higher possibility of integration. According to the AEC Chartbook 2014, since 2003, the original members of ASEAN, known as ASEAN-6, have made rapid progress in reducing tariff rates to zero for over 50 percent of the agreed commodity list.
There have been no crucial changes in trade relations among ASEAN members. Nevertheless, hindering factors are still widely prevalent, particularly on non-tariff measures. These include different standards and regulations that impede the free flows of goods, services, investment and capital, as well as skilled labor. In addition to that, there are many other non-tariff measures, including administrative charges, certificates of approval, import licensing, quantity-control measures, internal taxes and other prohibition measures.
The implementation of mutual recognition arrangements on the free flow of skilled labor has also encountered obstacles due to stern domestic regulations. Furthermore, lack of transparency without strong institutional support under the ASEAN secretariat general in Jakarta worsens the pessimistic outlook surrounding the creation of the AEC.
Right up to the time of its official launching on Dec. 31, 2015, there had been a tacit view that ASEAN had not yet reached its intended objective of creating a single market and production base, let alone attained other similarly crucial pillars, including the establishment of a highly competitive economic region with equitable economic development that is fully integrated into the global economy.
These aims are still far from a reality. Thus, it should be admitted that we are not really there yet.
To conclude, in order to create tangible regional integration in ASEAN, there must be a unified ASEAN. There must be strong political will from members. In this context, the members should no longer postpone thinking about how to change the game from a loose cooperation of governments to having a central entity, which will play crucial role in shaping ASEAN’s course.
This, however, does not necessarily mean creating a supra-national institution, which would be against the nature of ASEAN members, but it does mean a more decisive role for the ASEAN secretariat in governing the process of regional integration.
Moreover, there should be a common understanding not only among ASEAN leaders but also members of society that ASEAN as a single entity will be more meaningful and have more bargaining power and more competitiveness in the global economy than ASEAN members could achieve individually.
Source :
http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/12/indonesia-should-be-ready-compete-aec-jokowi.html
Thursday, March 31, 2016
Friday, January 22, 2016
BAB XIII - Memberikan Contoh Tentang Perilaku Bisnis yang Melanggar Etika
1. Korupsi
Korupsi atau rasuah ( bahasa Latin: corruptio dari kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik,
menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legalmenyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya.
Menurut para ahli Black’s Law Dictionary korupsi adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang
tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya
atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau
orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Menurut para ahli Syeh Hussein Alatas korupsi, yaitu
subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi
dengan kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa
akan akibat yang diderita oleh masyarakat
Menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi
yaitu “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonoman negar”
Menurut Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 korupsi
yaitu “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian Negara”.
Hubungan Korupsi dengan Etika Bisnis
Hubungan korupsi dengan etika bisnis dapat dipahami dalam
kehidupan pemerintahan sebagai suatu keadaan, di mana jika etika dipegang teguh
sebagai landasan tingkah laku dalam pemerintahan, maka penyimpangan seperti
korupsi tidak akan terjadi
Korupsi dan etika bisnis merupakan satu kesatuan. Jika kita
sudah memahami betul apa saja yang harus diperhatikan dalam berbisnis, maka
tindakan korupsi tidak mungkin dilakukan.tindakan korupsi jelas – jelas
melanggar etika bisnis, karena kegiatan tersebut sangatlah merugikan banyak
pihak. Intinya kita harusmengerti dulu apa saja etika dalam berbisnis, baru
kita memulai bisnis. Agar bisnis kita tidak melanggar peraturan.
Misalnya kode etik pada PNS yang merupakan norma-norma
sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan PNS yang diharapkan dan
dipertangung jawabkan dalam melaksanakan tugas pengabdiannya kepada bangsa,
negara dan masyarakat dan tugas-tugas kedinasan, organisasinya serta pergaulan
hidup sehari-hari sesama PNS dan individu-individu di dalam masyarakat.
2. Pemalsuan
Permasalahan etik dalam pemalsuan merek adalah tidak
menghargai hasil karya cipta seseorang yang menciptakan produk unggul yang
bermanfaat bagi semua orang, tiba-tiba dibajak atau ditiru dengan mengambil
karya orang lain untuk keuntungan diri sendiri, contohnya yang banyak beredar
di masyarakat adalah pemalsuan DVD/VCD dan pakaian baju,kaos, celana yang
dengan sengaja menciptakan merk yang sama tetapi kualitas berbeda jauh dengan
yang asli oleh karena itu produk bajakan harganya sangat murah, masyarakat pun
memilih untuk membeli produk bajakan karena harganya murah dan tidak jauh
berbeda kualitasnya dengan yang asli. mengapa hal ini terjadi? karena tidak ada
aturan yang baku untuk menahan gejolak ini, bahkan pemerintah pun tidak mampu
untuk menahan gejolak ini. peran serta negara pengusaha bahkan masyarakat
sebagai konsumen yang sangat dibutuhkan, kunci utama yang perlu ditekankan
adalah kesadaran masyarakat untuk membeli produk asli bukan bajakan.membeli
produk asli akan meningkatkan produktifitas pencipta dan memberikan kontribusi
terhadap negara.
3. Pembajakan
Piracy atau pembajakan merupakan sebuah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan berbagai macam aktivitas file sharing illegal,
download illegal atau pemalsuan yang berkaitan dengan internet. Internet piracy
merupakan satu hal yang berbahaya dan biasanya bersifat illegal dan bahkan
cenderung tergolong aksi kriminal.
4. Diskriminasi
Gender
Hakikatnya, manusia memiliki kedudukan yang setara.
Laki-laki maupun perempuan. Keduanya diciptakan dalam derajat, harkat, dan
martabat yang sama. Kalaupun memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda, itu semua
agar keduanya saling melengkapi. Namun dalam perjalanan kehidupan manusia,
banyak terjadi perubahan peran dan status atas keduanya, terutama dalam
masyarakat. Proses tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan dan membudaya. Dan
berdampak pada terciptanya perlakuan diskriminatif terhadap salah satu jenis
kelamin. Selanjutnya, muncul istilah gender yang mengacu pada perbedaan peran
antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk dari proses perubahan peran dan
status tadi baik secara social ataupun budaya.
Diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan
terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras,
agama,umur, atau karakteristik yang lain. Diskriminasi juga terjadi dalam peran
gender. Sebenarnya inti dari diskriminasi adalah perlakuan berbeda. Akibat
pelekatan sifat-sifat gender tersebut, timbul masalah ketidakadilan
(diskriminasi) gender.
5. Konflik Sosial
Pengertian Konflik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih(atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkan atau membuatnya tak berdaya.
Dalam Bahasa latin : Configere artinya saling memukul.
Pengertian Konflik menurut Ahli :
· Soerjono
Soekanto : Suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan
/atau kekerasan.
· Gillin and
Gillin : konflik adalah bagian dari sebuah proses sosial yang terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi , kebudayaan dan perilaku.
6. Masalah Polusi
Sebaiknya dalam hal ini pemerintah ambil andil dalam masalah
polusi khususnya di Indonesia saat ini. Karena jika di diamkan maka masyarakat
tidak akan bisa lagi menghirup udara segar dan dapat juga menyebabkan sesak
nafas dan kelainan paru-paru. Hal ini pun dapat di tuntaskan apabila masyarakat
peduli dan selalu mengadakan sosialisasi rutin di lingkungan disekitarnya.
Dengan cara menanam 1 pohon pun masyarakat sudah menolong dan membantu
mengurangi polusi di Indonesia. Pesan saya untuk masyarakat di indonesia adalah
pintar-pintarlah menggunakan kendaraan bermotor seperlunya, dan jangan lupa
untuk menanam pohon agar kita dapat terus menghirup udara segar dan terhindar
dari penyakit yang dapat tiba-tiba menyerang kita melalui polusi udara.
Sumber:
1.
http://hafiedzmizan.blogspot.co.id/2013/11/pengertian-korupsi-etika-bisnis-serta.html#!/2013/11/pengertian-korupsi-etika-bisnis-serta.html
2.
http://lilawatyy95.blogspot.co.id/2015/12/memberikan-contoh-tentang-perilaku.html
3.
http://ikamayangsari.blogspot.co.id/2015/12/memberikan-contoh-tentang-perilaku.html
BAB XI - Peran Sistem Pengaturan dan Good Governance
A. Definisi
Pengaturan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengaturan merupakan
proses, cara, perbuatan mengatur. Jadi pengaturan merupakan proses kegiatan
mengatur atau mengelola untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
B. Karakteristik
Good Governance
Kepemerintahan yang baik menurut UNDP (1997)
mengidentifikasi lima karakteristik yaitu:
a. Interaksi,
melibatkan tiga mitra besar yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat madani
untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.
b. Komunikasi,
terdiri dari sistem jejaring dalam proses pengelolaan dan kontribusi terhadap
kualitas hasil.
c. Proses penguatan
sendiri, adalah kunci keberadaan dan kelangsungan keteraturan dari berbagai
situasi kekacauan yang disebabkan dinamika dan perubahan lingkungan, memberi
kontribusi terhadap partisipasi dan menggalakkan kemandirian masyarakat, dan
memberikan kesempatan untuk kreativitas dan stabilitas berbagai aspek
kepemerintahan yang baik.
d. Dinamis,
keseimbangan berbagai unsur kekuatan kompleks yang menghasilkan persatuan, harmoni,
dan kerja sama untuk pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan, kedamaian dan
keadilan, dan kesempatan merata untuk semua sektor dalam masyarakat madani.
e. Saling
ketergantungan yang dinamis antara pemerintah, kekuatan pasar, dan masyarakat
madani.
Lima karakteristik dalam good governance mencerminkan
terjadinya proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholders dengan
menerapkan prinsip good governance yaitu partisipasi, transparansi,
berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas, serta
visi dan misi. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (LAN) (2003) mengungkapkan
prinsip-prinsip good governance antara lain yaitu akuntabilitas, transparansi,
kesetaraan, supremasi hukum, keadilan, partisipasi, desentralisasi, kebersamaan,
profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan efisien, dan berdaya saing.
Mustopadidjaja (1997) mengatakan prinsip-prinsip good governance adalah
demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabiiltas,
partisipasi, kemitraan, desentralisasi, dan konsistensi kebijakan dan kepastian
hukum (Sedarmayanti, 2009:282-287). Jumlah komponen ataupun prinsip yang
melandasi tata pemerintahan yang baik
sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar
ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai
prinsip-prinsip utama yang melandasi goodgovernance, yaitu akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi (Sedarmayanti, 2009:289)
C. Commission of
Human
Commission of Human biasanya sering disebut dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) adalah hak fundamental yang tidak dapat yang mana karena ia
adalah seorang manusia. Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh
berbeda dengan pengertian di atas. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan
semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan
pemberian dari tuhan YME. Sementara menurut John Locke, Hak Asasi Manusia
adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap
manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM
merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian
langsung dari tuhan YME.
D. Kaitan Good
Corperate Governance dengan Etika Bisnis
Akhir-akhir ini masalah Good Corporate Governance (GCG) dan
Etika Bisnis banyak mendapat sorotan. GCG dan Etika Bisnis merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. GCG lebih memfokuskan pada
penciptaan nilai (value creation) dan penambahan nilai (value added) bagi para
pemegang saham, sedangkan etika bisnis lebih menekankan pada pengaturan
hubungan (relationship) dengan para stakeholders. Saat ini, ternyata masih
banyak perusahaan yang belum menyadari arti pentingnya implementasi GCG dan
praktik etika bisnis yang baik bagi peningkatan kinerja perusahaan. Sebagai
contoh, banyak praktek bisnis di berbagai perusahaan yang cenderung mengabaikan
etika. Pelanggaran etika memang bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia
bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan
berbagai pelanggaran moral yang tidak etis, seperti praktik curang, monopoli,
persekongkolan (kolusi), dan nepotisme seperti yang telah diatur dalam UU No. 5
tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Terdapat 4 (empat) manfaat implementasi GCG dan etika bisnis
bagi perusahaan. Pertama, dapat meningkatkan nilai perusahaan (corporate
value). Kedua, bagi perusahaan yang telah go publik dapat memperoleh manfaat
berupa meningkatnya kepercayaan para investor. Selain itu karena adanya
kenaikan harga saham, maka dapat menarik minat para investor untuk membeli
saham perusahaan tersebut. Ketiga, dapat meningkatkan daya saing (competitive
advantage) perusahaan. Keempat, membangun corporate image / citra positif ,
serta dalam jangka panjang dapat menjaga kelangsungan hidup perusahaan
(sustainable company).
Referensi :
http://budisantosogk.blogspot.co.id/2013/11/kaitanya-gcg-terhadap-etika-bisnis.html
http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2013/01/pengertian-ham-atau-hak-asasi-manusia.html
http://digilib.unila.ac.id/308/11/BAB%20II.pdf
BAB IX - Hubungan Perusahaan dengan Stakehoulder, Lintas Budaya dan Pola Hidup, Audit Sosial
1. Bentuk
Stakehoulder
Pengertian Stakehoulder merupakan individu, sekelompok
manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara
parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan.
Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat
dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik seperti yang
diungkapkan oleh Budimanta dkk, 2008 yaitu mempunyai:
kekuasaan,
legitimasi,
— kepentingan
terhadap perusahaan.
Stakeholder Utama (Primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan
kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka
harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
Stakeholder Pendukung
(Sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang
tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan,
program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan
sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan
keputusan legal pemerintah
Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki
kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang
dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif dan instansi.
Stakeholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu proyek level daerah
kabupaten.
Yang termasuk dalam stakeholder kunci yaitu :
1. Pemerintah
Kabupaten
2. DPR Kabupaten
3. Dinas yang
membawahi langsung proyek yang bersangkutan.
Bentuk dari stakeholder bisa kita padukan dengan Bentuk
kemitraan dengan komite sekolah, dunia usaha, dan dunia industri (DUPI) dan
Industri Lainnya Bentuk kemitraan yang dapat dilakukan oleh tenaga kependidikan
dengan stakeholder antara lain berupa :
1. Kerjasama dalam penggalangan dana
pendidikan baik untuk kepentingan proses pembelajaran, pengadaan bahan bacaan
(buku), perbaikan mebeuler sekolah, alat administrasi sekolah, rehabilitasi
bengunan sekolah maupun peningkatan kualitas guru itu sendiri.
2. Kerjasama
penyelenggaraan kegiatan pada momen hari – hari besar nasional dan keagamaan.
3. Kerjasama
dengan sponsor perusahaan dalam rangka meningkatkan kualitas gizi anak sekolah,
seperti dengan perusahaan susu atau makanan sehat bagi anak – anak sekolah, dan
bentuk kemitraan lain yang sesuai dengan kondisi setempat.
2. Stereotype,
Prejudice, Stigma Sosial
Stereotype adalah sebuah pandangan atau cara pandang
terhadap suatu kelompok sosial, dimana cara pandang tersebut lalu digunakan pada
setiap anggota kelompok tersebut. Kita memperoleh informasi biasanya dari pihak
kedua atau media, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan informasi tersebut
agar sesuai dengan pemikiran kita tanpa melakukan observasi yang lebih
mendalam. Oleh karena kurang melakukan observasi, maka cara pandang mereka
cenderung sangat sempit. Ini sudah merupakan pembentukan stereotype. Stereotype
bisa dalam hal buruk, bisa juga dalam hal baik.
Contoh : Contoh dari Stereotype , ketika kita sudah
beranggapan begitu pada suatu suku , maka kita tidak akan menempatkan dia pada
suatu posisi yang kita rasa gak cocok.
Prejudice adalah Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang
yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip.
Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok.
Contoh: misalnya kita menganggap setiap orang pada suku
tertentu itu malas, pelit , dan lain nya .
Stigma
sosial adalah tidak diterimanya seseorang pada suatu kelompok karena
kepercayaan bahwa orang tersebut melawan norma yang ada. Stigma sosial sering
menyebabkan pengucilan seseorang ataupun kelompok.
3. Mengapa
Perusahaan Harus Bertanggung Jawab
Agar perusahaan mendapat
citra positif di mata masyarakat
dan pemerintah . Kegiatan perusahaan dalam jangka panjang akan dianggap sebagai
kontribusi positif di masyarakat. Selain membantu perekonomian masyarakat,
perusahaan juga akan dianggap bersama masyarakat membantu dalam mewujudkan
keadaan lebih baik di masa yang akan datang.
Lalu terdapat
kerjasama yang salingmenguntungkan ke dua pihak.. Hubungan bisnis tidak lagi
dipahami sebagai hubungan antara pihak yang mengeksploitasi dan pihak yang
tereksploitasi, tetapi hubungan kemitraan dalam membangun masyarakat lingkungan
kebih baik. Tidak hanya di sector perekonomian, tetapi juga dalam sektor
sosial, pembangunan dan lain-lain. Serta Memiliki partner dalam menjalankan misi sosial dari
pemerintah dalam hal tanggung jawab sosial. Pemerintah pada akhirnya tidak
hanya berfungsi sebagai wasit yang menetapkan aturan main dalam hubungan
masyarakat dengan dunia bisnis, dan memberikan sanksi bagi pihak yang
melanggarnya. Pemerintah sebagai pihak yang mendapat legtimasi untuk mengubah
tatanan masyarakat agar ke arah yang lebih baikakan mendapatkan partner dalam
mewujudkan tatanan masyarakat tersebut. Sebagian tugas pemerintah dapat
dilaksanakan oleh anggota masyarakat, dalam hal ini perusahaan atau organisasi
bisnis.
4. Komunitas
Indonesia dan Etika Bisnis
Ø Apakah terdapat
perpaduan harmonis antara penetapan visi, misi, dan tujuan organisasi dengan
keberpihakan manajer puncak terhadap nilai-nilai etikal yang berlaku.
Ø Hadirnya profil
ketangguhan karakter dan moralitas pribadi sang manajer berikut para
pekerjanya.
Ø Kegigihan
mengkristalisasikan nilai-nilai aktual seputar kehidupan keseharian yang
berkenaan dengan aturan-aturan tradisi, persepsi kolektif masyarakat, dan
kebiasaan-kebiasaan rutin praktik bisnis yang lazim berlaku, untuk
‘dibenturkan’ dengan kecenderungan iklim etika saat itu, lalu kemudian
diadopsikan secara sistemik ke dalam perwujudan konsep-konsep stratejikal dan
taktikal demi capaian membentuk budaya organisasi yang unggul.
Dalam kehidupan komunitas atau komunitas secara umum,
mekanisme pengawasan terhadap tindakan anggota-anggota komunitas biasanya
berupa larangan-larangan dan sanksi-sanksi sosial yang terimplementasi di dalam
aturan adat. Sehingga tampak bahwa kebudayaan menjadi sebuah pedoman bagi
berjalannya sebuah proses kehidupan komunitas. Tindakan karyawan berkenaan dengan
perannya dalam pranata sosial perusahaan dapat menentukan keberlangsungan
aktivitas.
5. Dampak
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, apabila dilaksanakan
dengan benar, akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan,
termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan
dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja,
mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli masyarakat, yang secara
langsung atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan seterusnya.
Mengingat kegiatan perusahaan itu sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan
yang taat lingkungan akan lebih bermakna.
Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan
dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal
perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain.
Meskipun demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya
tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai
negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain
yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan
perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat.
Atau seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari
kegiatan perusahaan.
6. Mekanisme
Pengawasan Tingkah Laku
Mekanisme dalam pengawasan terhadap para karyawan sebagai
anggota komunitas perusahaan dapat
dilakukan berkenaan dengan kesesualan atau tidaknya tingkah laku anggota
tersebut denga budaya yang dijadikan pedoman korporasi yang bersangkutan.
Mekanisme pengawasan tersebut berbentuk audit sosal sebagai kesimpulan dari
monitoring dan evaluasi yang dilakukan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi
terhadap tingkah laku anggota suatu perusahaan atau organisasi pada dasarnya
harus dilakukan oleh perusahaan yang bersangkutan secara berkesinambugan. Monitoring yang dilakuka
sifatnya berjangka pendek sedangkan evaluasi terhadap tingkah laku anggota
perusahaan berkaitan dengan kebudayaan yang berlaku dilakukan dalam jangka
panjang. Hal dari evaluas tersebut menjadi audit sosial. Pengawasan terhadap
tingkah laku dan peran karyawan pada dasarnya untuk menciptakan kinerja
karyawan itu sendiri yang mendukung sasaran dan tujuan dari proses berjalannya perusahaan. Kinerja yang baik
adalah ketika tindakan yang diwujudkan sebagai
peran yang sesuai dengan status dalam pranata yang ada dan sesuai dengan
budaya perusahaan yang bersangkutan.
Sumber:
1.
http://www.google.co.id/url?q=http://anahuraki.lecture.ub.ac.id/files/2014/02/3.-TEORI-STAKEHOLDER.pptx&sa=U&ved=0ahUKEwju74rgxaLKAhVIj44KHS6zCmEQFggUMAA&usg=AFQjCNH4B5g30i-c__NLILUsLFKBCfKnUQ
2.
http://ikamayangsari.blogspot.co.id/2015/11/hubungan-perusahaan-dengan-stakeholder.html
3.
http://www.gurupantura.com/2012/01/hati-hati-stereotype.html
4. http://diyolineri.blogspot.co.id/2013/04/stereotypesprejudicedescrimination.html
5.
http://lilawatyy95.blogspot.co.id/2015_11_01_archive.html
http://danisapujiati94.blogspot.co.id/2015/12/hubungan-perusahaan-dengan-stakehoulder.html
BAB VIII - Pengertian Budaya Organisasi dan Perusahaan , Hubungan Budaya dan Etika, Kendala dalam Mewujudkan Kinerja Bisnis Etis
A. Budaya
Organisasi
Pengertian
- Suatu persepsi
bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi.
- Menunjuk pada
nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip mendasar suatu sistem manajemen
organisasi, yang berupa praktek-praktek manajemen dan perilaku organisasi
B. Karakteristik Budaya Organisasi
Ada 7 karakteristik budaya organisasi antara lain :
1. Inovasi dan
pengambilan keputusan.
2. Perhatian pada
kerincian.
3. Orientasi pada
hasil.
4. Orientasi pada
orang.
5. Orientasi pada
tim.
6. Keagresifan.
7. Kemantapan.
C. Fungsi Budaya
dalam Organisasi
1. Menciptakan
pembedaan (ciri khas) antara organisasi yang satu dengan organisasi lain.
2. Memberikan
identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Menimbulkan
komitmen.
4. Memantapkan
sistem sosial.
5. Membentuk dan
mengontrol sikap dan perilaku karyawan.
D. Pedoman Tingkah
Laku
Terdapat tiga faktor yang menjelaskan perbedaan pengaruh
budaya yang dominan terhadap perilaku, yaitu:
- Keyakinan
dan nilai-nilai bersama.
- Dimiliki
bersama secara luas.
- Dapat
diketahui dengan jelas, mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap perilaku
E. Apresisasi
Budaya
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan secara
tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya kegiatan menggauli hasil budaya dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap hasil karya
Apresiasi kebudayaan adalah penghargaan dan pemahaman atas
budaya (Natawidjaja, 1980), kegiatan menggauli (kebudayaan) dengan
sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik (terhadap kebudayaan) (Effendi, 1974), pendek
kata, penghargaan (terhadap kebudayaan) yang didasarkan pada pemahaman
(Sudjiman, 1984).
F. Hubungan
Etika dan Budaya
Hubungan etika dan budaya antara lain :
1. Etika dalam
implementasinya dipengaruhi oleh agama dan budaya
2. Agama dan
budaya dianggap sebagai sumber hukum, peraturan dan kode etik.
3. Sebagai
sumber maka agama dan budaya lebih independen.
Hubungan etika dengan budaya perusahaan
Etika merupakan standar moral yang menyangkut
baik-buruk dan benar-salah
Etika bisnis meliputi:
- Etika
perusahaan
Hubungan perusahaan dengan karyawan sebagai satu kesatuan
dengan lingkungannya
- Etika
kerja
Hubungan antara
perusahaan dengan karyawan
- Etika
perorangan
Hubungan antar karyawan
G. Pengaruh Etika terhadap Budaya
Perilaku etis dapat menimbulkan saling percaya antara
perusahaan dengan stakeholder. Perilaku etis dapat mencegah pelanggan, pegawai
dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya
perusahaan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan perilaku etis.
Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat
mendorong terciptanya perilaku tidak etis
Faktor yang menyebabkan terciptanya iklim etika dalam
perusahaan:
- Terciptanya
budaya perusahaan secara baik.
-
Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
-
Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.
H. Kendala
Mewujudkan Kinerja Bisnis
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan
dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa
kendala tersebut yaitu:
1. Standar moral
para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh
jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan
dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan,
ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak
perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian
antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan
tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya
dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya,
atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang
yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar
tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3. Situasi politik
dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang
dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat
luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan
elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk
tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya
penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa
bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini
mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada
organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan
manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di
bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik
bisnis dan manajemen.
Referensi :
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Rosita%20Endang%20Kusmaryani,%20M.Si./BUDAYA%20ORGANISASI.pdf
http://rumah-akuntansi.blogspot.co.id/2014/09/makalah-etika-bisnis-tujuan-etika-bisnis.htmlA. Budaya
Organisasi
Pengertian
- Suatu persepsi
bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi.
- Menunjuk pada
nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip mendasar suatu sistem manajemen
organisasi, yang berupa praktek-praktek manajemen dan perilaku organisasi
B. Karakteristik Budaya Organisasi
Ada 7 karakteristik budaya organisasi antara lain :
1. Inovasi dan
pengambilan keputusan.
2. Perhatian pada
kerincian.
3. Orientasi pada
hasil.
4. Orientasi pada
orang.
5. Orientasi pada
tim.
6. Keagresifan.
7. Kemantapan.
C. Fungsi Budaya
dalam Organisasi
1. Menciptakan
pembedaan (ciri khas) antara organisasi yang satu dengan organisasi lain.
2. Memberikan
identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Menimbulkan
komitmen.
4. Memantapkan
sistem sosial.
5. Membentuk dan
mengontrol sikap dan perilaku karyawan.
D. Pedoman Tingkah
Laku
Terdapat tiga faktor yang menjelaskan perbedaan pengaruh
budaya yang dominan terhadap perilaku, yaitu:
- Keyakinan
dan nilai-nilai bersama.
- Dimiliki
bersama secara luas.
- Dapat
diketahui dengan jelas, mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap perilaku
E. Apresisasi
Budaya
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan secara
tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya kegiatan menggauli hasil budaya dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap hasil karya
Apresiasi kebudayaan adalah penghargaan dan pemahaman atas
budaya (Natawidjaja, 1980), kegiatan menggauli (kebudayaan) dengan
sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik (terhadap kebudayaan) (Effendi, 1974), pendek
kata, penghargaan (terhadap kebudayaan) yang didasarkan pada pemahaman
(Sudjiman, 1984).
F. Hubungan
Etika dan Budaya
Hubungan etika dan budaya antara lain :
1. Etika dalam
implementasinya dipengaruhi oleh agama dan budaya
2. Agama dan
budaya dianggap sebagai sumber hukum, peraturan dan kode etik.
3. Sebagai
sumber maka agama dan budaya lebih independen.
Hubungan etika dengan budaya perusahaan
Etika merupakan standar moral yang menyangkut
baik-buruk dan benar-salah
Etika bisnis meliputi:
- Etika
perusahaan
Hubungan perusahaan dengan karyawan sebagai satu kesatuan
dengan lingkungannya
- Etika
kerja
Hubungan antara
perusahaan dengan karyawan
- Etika
perorangan
Hubungan antar karyawan
G. Pengaruh Etika terhadap Budaya
Perilaku etis dapat menimbulkan saling percaya antara
perusahaan dengan stakeholder. Perilaku etis dapat mencegah pelanggan, pegawai
dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya
perusahaan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan perilaku etis.
Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat
mendorong terciptanya perilaku tidak etis
Faktor yang menyebabkan terciptanya iklim etika dalam
perusahaan:
- Terciptanya
budaya perusahaan secara baik.
-
Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
-
Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.
H. Kendala
Mewujudkan Kinerja Bisnis
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan
dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa
kendala tersebut yaitu:
1. Standar moral
para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh
jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan
dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan,
ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak
perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian
antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan
tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya
dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya,
atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang
yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar
tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3. Situasi politik
dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang
dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat
luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan
elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk
tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya
penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa
bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini
mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada
organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan
manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di
bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik
bisnis dan manajemen.
Referensi :
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Rosita%20Endang%20Kusmaryani,%20M.Si./BUDAYA%20ORGANISASI.pdf
http://rumah-akuntansi.blogspot.co.id/2014/09/makalah-etika-bisnis-tujuan-etika-bisnis.htmlA. Budaya
Organisasi
Pengertian
- Suatu persepsi
bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi.
- Menunjuk pada
nilai-nilai, kepercayaan dan prinsip-prinsip mendasar suatu sistem manajemen
organisasi, yang berupa praktek-praktek manajemen dan perilaku organisasi
B. Karakteristik Budaya Organisasi
Ada 7 karakteristik budaya organisasi antara lain :
1. Inovasi dan
pengambilan keputusan.
2. Perhatian pada
kerincian.
3. Orientasi pada
hasil.
4. Orientasi pada
orang.
5. Orientasi pada
tim.
6. Keagresifan.
7. Kemantapan.
C. Fungsi Budaya
dalam Organisasi
1. Menciptakan
pembedaan (ciri khas) antara organisasi yang satu dengan organisasi lain.
2. Memberikan
identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Menimbulkan
komitmen.
4. Memantapkan
sistem sosial.
5. Membentuk dan
mengontrol sikap dan perilaku karyawan.
D. Pedoman Tingkah
Laku
Terdapat tiga faktor yang menjelaskan perbedaan pengaruh
budaya yang dominan terhadap perilaku, yaitu:
- Keyakinan
dan nilai-nilai bersama.
- Dimiliki
bersama secara luas.
- Dapat
diketahui dengan jelas, mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap perilaku
E. Apresisasi
Budaya
Apresiasi Budaya adalah pemahaman dan pengenalan secara
tepat sehingga tumbuh penghargaan dan penilaian terhadap hasil budaya kegiatan menggauli hasil budaya dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan
kepekaan perasaan yang baik terhadap hasil karya
Apresiasi kebudayaan adalah penghargaan dan pemahaman atas
budaya (Natawidjaja, 1980), kegiatan menggauli (kebudayaan) dengan
sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis,
dan kepekaan perasaan yang baik (terhadap kebudayaan) (Effendi, 1974), pendek
kata, penghargaan (terhadap kebudayaan) yang didasarkan pada pemahaman
(Sudjiman, 1984).
F. Hubungan
Etika dan Budaya
Hubungan etika dan budaya antara lain :
1. Etika dalam
implementasinya dipengaruhi oleh agama dan budaya
2. Agama dan
budaya dianggap sebagai sumber hukum, peraturan dan kode etik.
3. Sebagai
sumber maka agama dan budaya lebih independen.
Hubungan etika dengan budaya perusahaan
Etika merupakan standar moral yang menyangkut
baik-buruk dan benar-salah
Etika bisnis meliputi:
- Etika
perusahaan
Hubungan perusahaan dengan karyawan sebagai satu kesatuan
dengan lingkungannya
- Etika
kerja
Hubungan antara
perusahaan dengan karyawan
- Etika
perorangan
Hubungan antar karyawan
G. Pengaruh Etika terhadap Budaya
Perilaku etis dapat menimbulkan saling percaya antara
perusahaan dengan stakeholder. Perilaku etis dapat mencegah pelanggan, pegawai
dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya. Budaya
perusahaan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan perilaku etis.
Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku etis atau sebaliknya dapat
mendorong terciptanya perilaku tidak etis
Faktor yang menyebabkan terciptanya iklim etika dalam
perusahaan:
- Terciptanya
budaya perusahaan secara baik.
-
Terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya.
-
Terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai.
H. Kendala
Mewujudkan Kinerja Bisnis
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan
dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa
kendala tersebut yaitu:
1. Standar moral
para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh
jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan
dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan,
ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak
perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian
antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan
tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya
dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya,
atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang
yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar
tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3. Situasi politik
dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang
dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat
luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan
elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk
tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya
penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa
bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini
mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada
organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan
manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di
bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik
bisnis dan manajemen.
Referensi :
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Rosita%20Endang%20Kusmaryani,%20M.Si./BUDAYA%20ORGANISASI.pdf
http://rumah-akuntansi.blogspot.co.id/2014/09/makalah-etika-bisnis-tujuan-etika-bisnis.html
BAB VII - Perspektif Etika Bisnis dalam Ajaran Islam dan Barat, Etika Profesi
1. Beberapa aspek
etika bisnis islami
Bisnis dalam Islam memiliki etika atau aturan yang harus
sesuai dengan hukum dan ajaranagama Islam. Etika bisnis dalam Islam
mengharuskan seorang pebisnis harus selalu dipegang teguh sehingga tidak
membelok ke jalan yang tidak diridhoi oleh agama Islam.
Pengertian etika bisnis dalam Islam secara singkatmerupakan
cara yang digunakan untuk melakukan bisnis secara Islami. Sedangkan pengertian
etika bisnis dalam Islam secara detail adalah cara-cara yang digunakan untuk
melakukan bisnis yang termasuk didalamnya seluruh aspek yang berkaitan dengan
perusahaan, individu, industri serta masyarakat
yang berpatok pada hukum-hukum Islam. Intinya,segala hal yang dilakukan
oleh seorang pebisnis haruslah tetap berpegang teguh pada hukum-hukum Islam.
1.Kesatuan ( Tauhid )
Etika bisnis dalam Islam yang satu ini adalah bagaimana
memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan mulai dari ekonomi, sosial sampai
dengan politik sehingga mampu menjadi satu kesatuan yang homogen.
2.Keseimbangan
Maksud dari etika bisnis dalam Islam yang ini adalah anjuran
untuk berbuat adil dalam bisnis. Jadi, bagi yang berbuat curang maka kecurangan
itu sendiri adalah jurang kehancuran bagi bisnisnya.
3.Bebasnya Kehendak
Kebebasan menjadi sangat penting dalam etika bisnis dalam
Islam. Ini akan membantu orang dalam berkarya sebebas-bebasnya dan sekreatif
mungkin hingga mampu menghasilkan inovasi baru.
4.Tanggung Jawab
Dalam etika bisnis Islam, tanggung jawab adalah hal yang
sangat penting. Meskipun manusia memiliki kebebasan tanpa batas namun tanggung
jawab sangat diperlukan guna
mempertanggung jawabkan setiap tindakan yang dilakukan.
5.Kebenaran ( Kebijakan dan Kejujuran )
Etika bisnis dalam Islam mengedepankan yang namanya
kebenaran. Dalam hal ini maksudnya adalah niat, perilaku dan juga sikap apakah
memiliki kebenaran niat yang sesungguhnya sesuai dengan akadnya atau tidak.
Teori ethical egoism
Ethical egoism menegaskan bahwa kita tidak harus mengabaikan
secara mutlak kepentingan orang lain tetapi kita patut mempertimbangkannya
apabila tindakan itu secara langsung akan membawa kebaikan kepada diri sendiri.
Ethical egoism adalah berbeda dengan prinsip-prinsip moral seperti senantiasa
bersikap jujur, amanah dan bercakap benar. Ia karena tindakan tersebut didorong
oleh nilai-nilai yang sedia ada dalam diri manakala dalam konteks ethical
egoism pula sesuatu tindakan adalah didorong oleh kepentingan pribadi. Misalnya
seseorang individu yang memohon pinjaman akan memaklumkan kepada pegawai bank
tentang kesilapan pihak bank bukan atas dasar tanggung jawab tetapi karena
beliau mempunyai kepentingan diri.
Kategori etikal:
· Individual
Melakukan perkara faedah untuk kepentingan diri.
· Personal
Tindakan yang perlu dilakukan untuk kepentingan seseorang.
· Universal
Semua orang perlu bertindak pada jalan berfaedah untuk diri
sendiri.
3. Teori
relativisme
Istilah “relativisme” diambilkan dari bahasa Latin,
relativus, yang artinya “menunjuk ke.” Setiap pengetahuan, menurut paham
relativisme, selalu memiliki rujukan, referensi. Dengan demikian, setiap
pengetahuan memiliki logika dan ranah kebenarannya sendiri bergantung kepada
rujukannya.
Relativisme meniadakan kebenaran universal. Jika tidak ada
pengetahuan yang salah, karena setiap pengetahuan memiliki rujukannya sendiri,
maka juga tidak ada pengetahuan yang benar secara universal. Jika tidak ada
pengetahuan yang benar secara universal, tidak perlu ada pendidikan, tidak
perlu ada sekolah, tidak perlu ada seminar, tidak perlu ada pembelajaran, tidak
perlu ada diskusi hukum-hukum, tidak perlu ada komunikasi (malahan). Sebab,
semuanya benar belaka. Inilah konsekuensi paling telak dari relativisme
protagorasian.
4. Konsep
deontology
Berasal dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/
Sesuatu yang harus. Etika deontology ini
lebih menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara baik menurut
teori ini tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan namun
berdasarkan baik pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini adalah
mutlak harus dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang. Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan
kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik
dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain.
Menurut David MCnaughton, kebaikan dan keburukan tidak bisa dilihat semata-mata
berdasarkan nilai baik dan buruk, dua
hal ini dilihat dari konteks terjadinya perbuatan, bisa kita contohkan ada
sebuah kasus atau sebuah perbuatan, bisa saja perbuatan ini benar di mata
masyarakat umum atau benar berdasarkan konsep-konsep umum yang ada, namun pada
kenyataannya saat dilakukan terlihat buruk atau bahkan dampaknya negative.
Teori deontology diatas diperkenalkan oleh imanuel kant pada
tahun (1724-1804). Dalam teorinya kan
mengatakan hal yang baik dalam pengertian yang sesungguhnya adalah hal yang
berasal dari kehendak yang baik. Sedangkan hal-hal seperti intelegensi, harta,
jabatan dan lain sebagainya adalah sesuatu yang bersifat terbatas yang mana itu
semua akan menjadi baik saat dia dimiliki dan dipakai oleh kehendak yang baik
yang ada pada diri manusia. Dalam
teorinya juga kant menyimpulkan adanya otonomi kehendak, yang mana setiap
kehendak memilikiatau mengisyaratkan adanya otonomi individu dalam melakukan
sebuah perbuatan, yang sudah dipastikan setiap perbuatan tersebut didasarkan
atas “kewajiban”. Kant mengatakan bahwa kewajiban ini sifatnya tidak subjektif
kewajiban ini bersifat bebas atau imperative artinya sudah barang tentu dan
sudah biasa manusia bebas melakukan sesuatu
asalkan kebebasan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
kewajiban sehingga kebebasan yang dilakukan tersebut bisa dibenarkan secara
moral.
Pengertian profesi
Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keahlian seperti ketrampilan, kejuruan, dan sebagainya.
Profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut
keahlian atau keterampilan dari pelakunya. Biasanya sebutan “profesi” selalu
dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan
tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut profesi karena profesi
menuntut keahlian para pemangkunya. Hal ini mengandung arti bahwa suatu
pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang
orang, akan tetepi memerlukan suatu persiapan melelui pendidikan dan pelatihan
yang dikembangkan khusus untuk itu.
Pekerjaan tidak sama dengan profesi. Istilah yang mudah
dimengerti oleh masyarakat awam adalah sebuah profesi sudah pasti menjadi
sebuah pekerjaan, namun sebuah pekerjaan belum tentu menjadi sebuah profesi.
Profesi memiliki mekanisme serta aturan yang harus dipenuhi sebagai suatu
ketentuan, sedangkan kebalikannya, pekerjaan tidak memiliki aturan yang rumit
seperti itu.
6. Kode etik
Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai & juga aturan
profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar & baik
& apa yang tidak benar & tidak baik bagi profesional. Kode etik
menyatakan perbuatan apa saja yang benar / salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan & perbuatan apa yang harus dihindari. Atau secara singkatnya
definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
ketika melakukan suatu kegiatan / suatu pekerjaan. Kode etik merupakan pola
aturan / tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Prinsip etika profesi
1. Pertama,
prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum
profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang
bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya
dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan
melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik
mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan
moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin
dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana
profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja,
ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam.
Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah
melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip
kedua adalah prinsip keadilan . Prinsip ini terutama menuntut orang yang
profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka
profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan
profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap
siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya
.prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan
perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya
.jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga
kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas
pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang
miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari
beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit
tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu
untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya
kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan.
Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional
dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang
banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan
orang tersebut.
3. Prinsip
ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh
kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan
sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi
dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan
terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur
tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak
pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang
bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi
tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas
mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang
kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas.
Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu /
peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya
pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan
tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap
profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.
4. Prinsip
integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat
jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas
pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk
menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan
masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum
profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia
tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya.
Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas
profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan
profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada
godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar
niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas
moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas
bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip
keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan
mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah,
kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati,
ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral,
khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini
terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya.
Sumber:
1.
http://www.syariahnews.com/2015/07/ketahui-5-etika-bisnis-dalam-islam.html
2.
http://alamandausm.blogspot.co.id/2014/01/teori-egoisme_7.html
3.
http://www.kompasiana.com/saman/relativisme-dan
pluralisme_5509af38813311f001b1e280
4.
https://rifaiarvinofajar.wordpress.com/2013/01/16/deontology-ethics/
5.
http://febriantismala.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-profesiprofesionaletikaetiket.html
6.
http://www.pengertianku.net/2015/02/pengertian-kode-etik-dan-tujuannya-lengkap.html
BAB V - Jenis Pasar, Latar Belakang Monopoli, Etika dalam Pasar Kompetitif
A. Pasar
Secara Sederhana
Pasar merupakan tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk
melakukan transaksi jual-beli barang dan jasa.
Secara Luas (W.J. Stanton )
- Pasar
merupakan orang-orang yang mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang
untuk belanja serta kemauan untuk membelanjakannya.
- Pasar
merupakan pertemuan antara penawaran dan permintaan dan saat terjadinya harga
keseimbangan
Berdasarkan bentuknya maka pasar dapat dibedakan atas:
(1) Pasar Persaingan Sempurna
(2) Pasar Monopoli
(3) Pasar Oligopoli
(4) Pasar Persaingan Monopolistik
(5) Pasar Monopsoni
(6) Pasar Oligopsoni
B. Pengertian
Pasar Persaingan Sempurna, Monopoli dan Oligopoli
Pasar Persaingan Sempurna
Pasar persaingan sempurna adalah suatu struktur pasar dimana
terdapat banyak penjual dan pembeli dimana masing-masing tidak dapat
mempengaruhi keadaan pasar.
Ciri-ciri pasar persaingan sempurna :
- Jumlah
pembeli dan penjual banyak, sehingga masing-masing pembeli dan penjual secara
sendiri-sendiri tidak mampu mempengaruhi harga pasar.
- Harga
ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran dan tidak dapat diubah.
- Setiap
penjual dan pembeli sebagai pengambil harga (price taker).
- Setiap
perusahaan menghasilkan barang yang sama (Homogenous) menurut pandangan
konsumen.
- Setiap
perusahaan bebas keluar masuk pasar (free entry and exit).
- Sumber
produksi bebas bergerak ke manapun.
- Pembeli
dan penjual mempunyai pengetahuan yang sempurna terhadap pasar (perfect
knowledge).
Pasar Monopoli
- Semua
bentuk pasar yang bukan persaingan sempurna, dinamakan bentuk pasar persaingan
tidak sempurna (imperfect competition) yang mempunyai berbagai bentuk :
monopoli-monopsoni, duopoli-duopsoni, oligopoli-oligopsoni, dan persaingan
monopolistik.
- Pasar
monopoli adalah suatu bentuk pasar dimana hanya terdapat satu penjual saja
(penjual tunggal) bebas menentukan harga.
- Penjual
sebagai penentu harga (price setter) dan pembeli sebagai price taker.
Faktor-faktor penyebab terbentuknya pasar monopoli :
1. Teknologi tinggi
2. Modal tinggi
3. Peraturan
pemerintah / undang – undang
4. Produk sangat
spesifik
Pasar Oligopoli
- Pasar
oligopoli adalah suatu bentuk pasar yang di dalamnya hanya ada beberapa
penjual.
-
Masing-masing penjual mempunyai pengaruh atas harga-harga barang yang
dijual, tetapi tidak sebesar pengaruh penjual monopolis.
- Ada saling
ketergantungan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain
- Untuk
menguasai harga dan konsumen adalah menggunakan merek-merek dagang tertentu
(differentiated product), dengan mutu dan rasa agak sedikit berbeda
- Perusahaan
oligopolis bersedia bekerjasama dengan saingannya menjalankan kebijakan harga
dan output untuk memperoleh laba maksimal secara bersama-sama membentukKartel
C. Monopoli dan
Dimensi Etika Bisnis
Dari sisi etika bisnis, pasar monopoli dianggap kurang baik
dalam mencapai nilai-nilai moral karena pasar monopoli tak teregulasi tidak
mampu mencapai ketiga nilai keadilan kapitalis, efisiensi ekonomi dan juga
tidak menghargai hak-hak negatif yang dicapai dalam persaingan sempurna
D. Etika di dalam
Pasar Kompetitif
Pertama, dalam sebuah sempurna pasar yang kompetitif, pembeli
dan penjual bebas untuk memasuki atau meninggalkan pasar sebagai mereka pilih.
Artinya, individu tidak dipaksa atau dilarang untuk berkecimpung dalam bisnis
tertentu, asalkan mereka memiliki keahlian dan sumber daya keuangan yang
diperlukan.
Kedua, di sempurna pasar bebas yang kompetitif, semua bursa
sepenuhnya sukarela. Artinya, peserta tidak dipaksa untuk membeli atau menjual
apapun selain dari apa yang mereka secara bebas dan sadar persetujuan untuk
membeli atau menjual.
Ketiga, tidak ada penjual tunggal atau pembeli sehingga akan
mendominasi pasar yang ia mampu memaksa orang lain untuk menerima syaratnya
atau pergi tanpa. Di pasar ini, kekuatan industri adalah desentralisasi antara
perusahaan banyak sehingga harga dan kuantitas tidak tergantung pada kehendak
satu atau beberapa usaha. Singkatnya, sempurna pasar bebas kompetitif
mewujudkan hak negatif dari kebebasan dari paksaan.
Dengan demikian, mereka sempurna moral dalam tiga hal
penting yaitu :
(a) Setiap terus menerus menetapkan bentuk kapitalis
keadilan.
(b) Bersama-sama mereka memaksimalkan utilitas dalam bentuk
efisiensi pasar.
(c) Masing-masing hal-hal penting hak-hak negatif tertentu
dari pembeli dan penjual.
Tidak ada penjual tunggal atau pembeli dapat mendominasi
pasar yang lain dan memaksa untuk menerima syaratnya. Jadi, kebebasan
kesempatan, persetujuan, dan kebebasan dari paksaan semua dipertahankan dalam
sistem ini.
E. Kompetisi
pada Pasar Ekonomi Global
Pasar global merupakan pasar berskala dunia yang terbuka
bagi seluruh pelaku usaha. Pasar global mengalami perkembangan yang pesat
belakangan ini karena beberapa faktor yaitu adanya beberapa negara industri
yang mampu menghasilkan produk berkualitas dengan harga murah, misalnya China
dan Taiwan.
Adanya kompetisi global, memberikan dorongan pada
usaha-usaha di Indonesia untuk tetap eksis di tengah persaingan dunia.
Faktor-faktor yang sebenarnya dapat menjadi daya, atau kemampuan, bagi
Indonesia untuk bersaing dalam kompetisi pasar global, antara lain faktor
sumber daya manusia dan faktor produktivitas dan efisiensi.
Dari segi makro, dalam menghadapi tantangan globalisasi
perusahaan atau pelaku bisinis, pemerintah dan akademisi perlu mengembangkan
tenaga kerja nasional melalui program-program terpadu dan nyata seperti
misalnya penyusunan kurikulum pendidikan yang mengacu pada dunia usaha, dan
pemberian pelatihan-pelatihan praktis. Kendati, tugas cukup berat, kita harus
optimis dan segera menentukan dan menjalankan strategi yang tepat dalam
meningkatkan mutu SDM/tenaga kerja ditingkat nasional kita agar kita tidak
tertinggal jauh dalam percaturan bisnis dunia.
Referensi :
http://masud.lecture.ub.ac.id/files/2012/07/08-Teori-Pasar.pdf
http://uuidcnibhgia.blogspot.co.id/2011/01/etika-bisnis-pada-persaingan-pasar_13.html
http://rarapsp.blogspot.co.id/2015/04/daya-saing-indonesia-dalam-kompetisi.html
Subscribe to:
Posts (Atom)